Ajengan Bahasa Sunda Artinya

Ajengan Bahasa Sunda Artinya

Contoh Percakapan 9

Percakapan ini dilakukan antara kakek dan cucunya.

Dudung: "Ki, didieu mah sabudeureun bumi teh meni seueur tatangkalan. Malah itu di buruan oge meni seueur pepelakan, Ki." (Ki, di lingkungan sekitar rumah banyak pepohonan. Itu juga di halaman rumah banyak tanaman, Ki.)Aki: "His, geus kitu kuduna, Cu. Urang kudu milu ngarawat lingkungan sabudereun. Mikanyaah tutuwuhan jeung sasatoan. Sabab, tutuwuhan jeung sasatoan teh kalintang mangpaatna pikeun urang." (Memang sudah seharusnya, Cu. Kita harus ikut merawat lingkungan dan sekitarnya. Merawat tumbuhan dan hewan. Karena tumbuhan dan hewan banyak manfaatnya untuk kita.)Dudung: "Naon wae mangpaatna, Ki?" (Apa saja manfaatnya, Ki?)Aki: "Hawa didieu karasa ku hidep sakieu segerna. Eta teh lantaran di sabudeureun urang loba tutuwuhan. Hidep oge di dieu bisa ngadahan bungbuahan, kari ngala tina tangkalna. Rupa-rupa sayuran kari ngala." (Udara yang kita hirup jadi terasa segar. Itu karena di sekitar kita banyak tumbuhan. Kamu juga bisa makan buah-buahan yang langsung dipetik dari pohonnya. Macam-macam sayuran juga tinggal petik.)

Dari Wikikamus bahasa Indonesia, kamus bebas

Belum ada komentar. Anda dapat menjadi yang pertama

sebagian atau seluruh definisi yang termuat pada halaman ini diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia

Bahasa Sunda merupakan bahasa yang digunakan masyarakat suku Sunda dan mayoritas digunakan di Jawa Barat. Jika kamu adalah orang Sunda atau tinggal di Jawa Barat, kemungkinan besar kamu terbiasa menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana jika kamu tinggal di Jawa Barat atau keturunan Sunda tapi tidak bisa berbahasa Sunda? Tenang, bahasa sangat mungkin dipelajari. Kamu bisa mulai dengan berlatih beberapa percakapan atau paguneman dalam bahasa Sunda yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh Percakapan 10

Percakapan ini dilakukan masih antara kakek dan cucunya.

Dudung: "Ari mangpaat hayam sajabina ti tiasa diemam dagingna naon, Ki?" (Kalau manfaat ayam selain dimakan dagingnya apa, Ki?)Aki: "Tadi isuk-isuk, naon nu ngalantarankeun hidep hudang?" (Tadi pagi apa yang membangunkanmu?)Dudung: "Hayam jago kongkorongok, Ki. Jadina abdi kagugahkeun." (Ayam jago yang berkokok, Ki. Jadinya saya terbangun.)Aki: "Tah, eta salahsahiji mangpaatna ngukut hayam, Dung." (Nah, itu salah satu manfaat memelihara ayam, Dung.)Dudung: "Oh, muhun, muhun." (Oh, iya iya.)

Itulah contoh-contoh percakapan bahasa Sunda yang bisa kamu praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan bermangpaat!

Contoh Percakapan 7

Ucup: "Kunaon kamari teu sakola, Jun?" (Kenapa kemarin kamu nggak masuk sekolah, Jun?)Jujun: "Kamari kuring teh nyeri beuteung euy." (Kemarin aku sakit perut.)Ucup: "Nyeri beuteung pedang kunaon? Tambarakan teung atuda Jujun mah." (Sakit perut kenapa? Sembarangan banget sih kamu, Jun.)Jujun: "Ah teu pira jajan baso tuluy nginum cai es kamari teh." (Kemarin cuma jajan bakso terus mimum es.)Ucup: "Meureun lada teuing basona nya? Jaba deuih ayeuna teh keur usum ngijih." (Sepertinya baksonya terlalu pedas, ya? Ditambah sekarang lagi musim hujan.)Jujun: "Enya puguh lada teuing basona." (Iya nih, sepertinya baksonya terlalu pedas.)

Contoh Percakapan 5

Percakapan ini dilakukan antara teman yang seusia.

Deden: "Geuleuh teuing aing mah ka si Dudung teh!" (Menyebalkan sekali Dudung!)Yuni: "Naha naha naha? Geuning ujug-ujung kitu sih?" (Kenapa, kenapa, kenapa? Kok tiba-tiba begitu, sih?)

Contoh Percakapan 3

Percakapan ini dilakukan antara guru dan muridnya saat pelajaran basket.

Arif: "Pa, can sugan?" (Pak, belum selesai?)Pak Irfan: "Lima menit deui." (Lima menit lagi.)Arif: "Geuning lila pisan sih, Pa?" (Lama sekali, Pak?)Pak Irfan: "Maneh mah, ari sakeudeung protes, dibere lila protes." (Kamu ini, kalau sebentar protes, lama juga protes.)Arif: "Da asa teu anggeus-anggeus, Pa." (Rasanya kok tidak selesai-selesai, Pak.)

Bahasa Indonesia-nya kata: Ajengan (Bahasa Bali)

Berikut terjemahan dari kata

Bahasa Indonesia-nya kata Ajengan: santapan;

Cari terjemahan bahasa bali lainnya di

REPUBLIKA.CO.ID, Istilah kiai dan ajengan dalam sejarah sosial masyarakat Indonesia, dilekatkan untuk mereka yang memiliki kemampuan agama. Julukan ini diberikan baik oleh kalangan ulama atau masyarakat.

Tetapi, ternyata kata dosen sejarah Universitas Indonesia, Mohammad Iskandar, penggunaan istilah kiai dan ajengan tak sama antara kebiasaan di Jawa Tengah atau Jawa Timur dan Jawa Barat. Istilah ajengan diberikan untuk figur ulama yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan kiai.

“Makanya sejarah mencatat di kawasan Priangan, kini masuk wilayah Jawa Barat, sedikit saja yang bergelar ajengan,” kata dia ditemui di sela-sela Seminar Pra Penelitian “Eksplorasi Karya Ulama Nusantara di Lembaga Pendidikan Keagamaan Priangan” yang digelar Balai Litbang Agama Jakarta, kemarin, di Jakarta, Jumat (12/5).

Dia menyebut, KH Ahmad Sanusi, adalah di antara sosok yang mendapat gelar ajengan. Gelar ini melihat posisi dan kedudukan Kiai Sanusi yang tidak hanya mumpuni di bidang agama, tetapi juga keberaniannya mengobarkan perlawanan terhadap penjajah.

Keberadaan Kiai Sanusi, kata dia, dianggap sebagai batu penghalang bagi penjajah. Kiai Sanusi dianggap ‘bermasalah’ karenanya tiap pergerakan Kiai Sanusi, tak terkecuali karya-karya intelektualnya tak luput dari pantauan dan catatan khusus Belanda.

Tetapi justru kebijakan Belanda tersebut, ujar dia, memiliki efek positif bagi terlacaknya jejak pemikiran Kiai Sanusi. Dua karya tafsirnya yaitu Tamsyiat al-Musilmin dan Manbaul Irfan terekam baik dalam catatan Belanda karena bagian isinya menyerukan jihad perlawanan.

Dalam karyanya itu, kata Iskandar, Kiai Sanusi mengutip ayat ke-3 Surah al-Maidah tentang kesempuranaan agama. Umat Islam itu ditakdirkan menjadi umat terbaik dan dibekali potensi kesempurnaan.

”Tetapi jika dijajah mustahil kesempurnaan itu tak akan tercapai,” Kata Iskandar mengutip pernyataan Kiai Sanusi. Keberanaian itulah yang mengantarkan Kiai Sanusi tinggal di balik jeruji penjara Belanda. “Di kawasan Priangan ajengan itu untuk orang-orang hebat,” kata dia.

Sebuah artikel menarik di Kompasiana tentang pemberian gelar Kyai Haji honoris causa oleh takmir masjid dan masyarakat Ploso Kuning, Sleman, kepada Mahfud MD. Pada kesempatan yang sama Mahfud MD mengatakan bahwa ia sebenarnya belum pantas menyandang titel Kyai Haji tersebut.

Penyebutan gelar Kyai Haji honoris causa oleh KH Ali As'ad, pengasuh Pondok Pesantren Nailul Ula Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, semula saya tafsirkan sebagai guyon, tapi ternyata bila melihat foto dan upacara pengalungan sorban pada Mahfud MD, penyebutan gelar Kyai Haji honoris causa saat itu tampaknya hal yang serius.

Pemberian gelar Kyai Haji (KH) bagi seorang ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagi seseorang diberikan kepada seorang ulama yang mendalami agama Islam dan biasanya mengasuh pondok pesantren.  Gelar KH itu yang memberikan adalah masyarakat.   Biasanya ulama yang dinobatkan masyarakat sebagai Kyai Haji, memang sudah pernah naik haji ke Mekkah.   Di Jawa Barat, orang Sunda menyebut ulama yang dianggap tinggi ilmu agama Islamnya dengan sebutan Ajengan.  Seorang ajengan sama dengan seorang KH biasanya mengasuh pondok pesantren dan berpengaruh di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

Sebutan KH bagi seseorang  mengalir begitu saja, tanpa upacara, tahu-tahu sebutan KH untuk seseorang melekat di depan namanya, sebagai pengakuan masyarakat.   Tahun 1970an masyarakat Indonesia mengenal Gus Dur sebagai Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, belum ada sebutan KH di depan namanya.  Sebutan KH di depan namanya entah mulai kapan, mungkin disosialisasikan oleh media cetak, akhirnya gelar KH melekat saja dengan nama Abdurrahman Wahid.  Itulah penghargaan masyarakat.

Contoh lain untuk almarhum  Zainuddin MZ yang dijuluki da'i sejuta umat, pada awal karirnya sebagai penceramah tak pernah disebut Kyai Haji, cukup disebut Haji karena beliau sudah pernah naik haji. Mungkin kita lupa sejak kapan Zainuddin MZ namanya ditambahi KH, tak ada yang memprotes karena sebutan KH itu sebagai penghargaan masyarakat.    Demikian pula Aa Gym semula hanya disebut Aa Gym saja, penceramah agama Islam yang juga mengasuh pondok pesantren di Geger Kalong, Bandung.  Lama-lama dengan kepopulerannya masyarakat dan media massa menambahkan gelar KH didepan namanya sebagai penghargaan tanpa ijazah, KH Abdullah Gymnatsiar namun sebutan Aa Gym tetap lebih populer.

Untuk Aa Gym gelar KH sebenarnya agak menyimpang dari kebiasaan, seorang pengasuh Pondok Pesantren dan penceramah agama Islam terkenal, di Jawa Barat biasanya digelari masyarakat sebagai Ajengan atau Mualim, bukan Kyai Haji.   Anomali sebutan juga terjadi di Bogor, misal dua ulama Bogor yang sudah almarhum disebut KH, yaitu KH Abdullah bin Nuh dan KH Soleh Iskandar, mungkin karena kedua ulama ini seperti Aa Gym dikenal masyarakat pada era dimana sebutan Kyai Haji lebih memasyarakat, terutama di pulau Jawa.  Contoh ulama Jawa Barat yang masih dikenal dengan sebutan ajengan adalah Ajengan Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin, yang terkenal dengan panggilan Abah Anom dari Tasikmalaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Lihat Sosbud Selengkapnya

Contoh Percakapan 2

Percakapan ini dilakukan antara kakak laki-laki dengan adik laki-laki.

Eja: "Pang anterkeun aing ka pasar, Den! Motor aing di bengkel heh." (Tolong antar aku ke pasar, Den! Motorku ada di bengkel.)Deden: "Naha can dicokot keneh, A? Geuning lila." (Kenapa belum diambil, Kak? Lamanya.)Eja: "Aing loba kerjaan pisan. Can kacekel eta motor." (Aku sedang banyak sekali pekerjaan. Belum bisa mengurus motor.)Deden: "Nya atuh ke heula. Aing madang heula." (Iya sebentar, aku makan dulu.)

Percakapan Bahasa Sunda dan Artinya

Berikut sederet contoh percakapan bahasa Sunda dikutip dari berbagai sumber. Yakni situs SMK Taruna Bangsa Bekasi, buku Budak Singer Kelas III oleh Tim Koncara, journal.unair.ac.id, dan situs SMP Tut Wuri Handayani.

Contoh Percakapan 6

Percakapan ini juga dilakukan antara teman seusia.

Hesti: "Neng, dupi ari di kampung Eneng pami HUT Bandung sok aya lomba-lomba tara?" (Neng, kalau di kampungmu saat HUT Bandung ada perlombaan, nggak?)Eneng: "Osok, mung tara sarame dinu sanesna, da nu ngiringanna tara seueuran." (Ada, tapi nggak semeriah di tempat lain, karena pesertanya nggak banyak.)Hesti: "Naha? Teu rarame panginten lomba-lombana?" (Kenapa? Apakah lombanya nggak seru?)Eneng: "Ah da nu ngaramekeun mah pamaenna rek sakumaha teu rame lombana ge, Hes. Panginten teu level ngiringan nu karitu teh." (Yang meramaikan lomba itu adalah pemainnya, mau apa pun lombanya, Hes. Nah mungkin banyak yang merasa nggak level ikut lomba seperti itu.)Hesti: "Muhunnya da pidunya we orang kota mah. Tapi ari saur abdi mah, ngeusi acara HUT Bandung teh mending ku sholawatan sasarengan, maos yasin sasarengan, ngadu'a sasarengan, teras merogramkerun ngarencanakeun Bandung ka hareupna sangkan leuwih alus." (Iya ya, orang kota lebih suka di rumah. Tapi kalau kata aku sih mengisi HUT Bandung lebih baik dengan sholawat bersama, yasinan bersama, berdoa bersama, lalu membuat program rencana untuk Bandung yang lebih baik ke depannya.)Eneng: "Muhun ogenya daripada ku hura-hura teu puguh mah, duit hambur, Allah teu suka, lingkungan bala, alah satuju pisan Hes abdi mah." (Iya juga, daripada perayaan nggak jelas, boros, Allah nggak suka, lingkungan jadi kotor, aku setuju sama kamu, Hes.)